Film Ayat-Ayat Cinta Lebih Berbahaya dari Film Maksiat?

Assalamualaikum wr.wb

Yang saya hormati bpk ust. H. ahmad sarwat, Lc yang semoga dimulyakan allah…

Menyikapi masalh film ayat-ayat cinta yang sekarang sedang booming yang diangkat dari novel ayat-ayat cinta pada awalnya saya tidak punya penilaian apa-apa tentang film tersebut tapi setelah saya buka wordpess

Http://tanfidz.wordpress.com/2008/02/23/film-ayat-ayat-cinta-lebih-berbahaya-dari film-maksiat-sebuah-analisa-dari-ustad-lukaman

Sungguh membuat saya heran dengan kapasitas pengetahuan saya yang kurang tentang film tersebut

Tolong kepada bapak ustad memberikan saran atau pendapat tentang masalah ini karena kalu memang benar saya berencana menjadikan topik tersebut dibahas dalam forum pemuda-pemudi Islam…diwilayah saya…sebelumnya terimaksih saya mohon jawaban secepatnya dari bapak ustad agar masalah ini dapat diselesaikan dengan cepat pula…

Wassalamualaikum wr. wb

Asep Buqhari Al-fahrizy

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Setiap kali ada film yang mengangkat tema Islam atau dakwah, biasanya memang selalu diiringi dengan kontroversi di kalangan umat Islam sendiri.

Kontroversi itu bisa dilatar-belakangi karena cara pandang umat Islam memang berbeda-beda tentang hukum dan manfaat film untuk dakwah, namun terkadang ‘kesalahan’ memang terletak dari si pembuat film.

Untuk kasus kontroversi hukum film dalam pandangan agama ISlam, contoh kasusnya adalah film The Message karya Mustafa Aqqad. Perdebatan terjadi antara kalangan sufi dan bukan sufi. Kalangan ‘sufi’ (suka film) dari umat Islam memandang film ini bagus dan fenomenal dan layak dijadikan film dakwah yang ideal.

Sebaliknya, kalangan bukan ‘sufi’ yaitu kalangan ‘tifi’ alias anti film, karena sejak awal memang tidak suka film, tetap saja mereka tidak suka. Meski sudah sangat menggambarkan bagaimana hebatnya perjuangan umat Islam. Dan mereka tidak pernah kehabisan akal untuk mencacat sebuah film yang digelari film dakwah.

Dan itulah yang menyebabkan film The Message gagal shuting di Maroko lalu pindah ke Libya. Konon para ulama di negeri Maroko berdemo dan berfatwa bahwa haram hukumnya memfilmkan nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya. Fatwa itu konon menyebar di dunia Islam, sehingga menurut cerita dari para pengamat film, penjualan film itu di Timur Tengah malah anjlok alias rugi.

Sebaliknya, di Barat tempat film itu diproduksi, konon cukup fenomenal baik dari segi penjualan dan juga penyebaran dakwah. Sosok Muhammad SAW yang selama ini dilecehkan, perlahan-lahan dapat dikembalikan dan ditempatkan sesuai posisinya.

Kesimpulan sederhananya, orang Arab (Timur Tengah) adalah anti film, jadi percuma berdakwah kepada mereka dengan menggunakan film. Belum apa-apa mereka sudah bikin fatwa sesat dan haram, tanpa pernah melihat filmnya. Pokoknya masuk bioskop saja sudah haram, biarpun filmnya dari awal hingga akhir isinya hanya kumpulan rekaman ceramah.

Mulai dari antri tiket, sampai urusan campur baur laki-laki dan perempuan di dalam ruang theater, sampai pemain filmnya ada yang perempuan dan seterusnya, semua akan dijadikan dasar keharaman sebuah film dan bioskop. Dan itu buat mereka adalah harga mati.

Kalangan Suka Film

Sebaliknya, buat umat Islam yang pada dasarnya sudah suka film, kecenderungan mereka selalu memandang positif bila ada film yang sedikit saja agak tidak terlalu hedonis. Bahkan meski sama sekali bukan film dakwah atau agama.

Film-film yang bersifat humanis, penegakan keadilan, atau yang berlatar belakang sejarah, cinta yang murni dan sejenisnya, mereka masukkan ke dalam daftar film layak tonton. Apalagi bila film itusudah bicara tentang agama Islam, atau pelajar Indonesia yang kuliah di Cairo, tentu buat mereka sudah lebih dari cukup layak untuk ditonton.

Dan hujjah mereka pun sudah sering kita dengar. Misalnya, mereka mengatakan bahwa yang perlu mendapat siraman dakwah itu bukan hanya jamaah masjid saja, tapi mereka yang tiap hari kerjanya nonton film, kalau dibuatkan film yang lain dari biasanya, akan tetap bermanfaat bagi mereka.

Setidaknya film yang agak kental mengangkat masalah agama seperti itu, untuk kapasitas dunia film yang selama ini melulu hedonis dan materialis, bahkan cenderung pornografis, makaharus ditanggapi positif, bukan malah dicela atau dimaki. Juga jangan dibilang lebih berbahaya dari film porno.

Buat mereka, cara pandang seperti ini adalah cara pandang pesimistis, bahkan cenderung nihilis. Tidak berpihak kepada realita bahwa sebagian besar masyarakat itu sufi, alias suka (nonton) film.

Mengharamkan film sama saja mengharamkan televisi. Tapi mereka yang mengharamkan televisi tetap saja tidak mendirikan sendiri sebuah stasiun televisi tandingan yang ideal sesuai dengan selera mereka. Jadi masih terbatas baru bisa mengharamkan, tanpa bisa memberikan solusi.

Kekurangan Pembuat Film

Pembuatan film bertema dakwah memang agak unik dan bikin pusing, apalagi kalau film itu dikerjakan oleh mereka yang kurang banyak berkecimpung di dunia dakwah.

Boleh jadi dakwahnya malah menjadi sekedar pemanis, atau orang bilang ‘manis-manis jambu’. Atau yang paling apes, dakwahnya malah kalah dengan masalah lainnya, seperti masalah cinta dan seterusnya. Film-film Rhoma Irama misalnya, seringkali terkotori dengan tema cinta agak vulgar, meski kemudian agak lebih dikoreksi.

Tapi di awal-awal produksinya, film-film itu malah menggambarkan pacaran, berduaan, berpelukan lain jenis yang bukan mahram, walau pun bintangnya fasih mengutip ayat-ayat Quran. Ini kan malah jadi kontradiksi dan sangat mengganggu, setidaknya buat mereka yang sudah punya wawasan agama lebih dalam.

Mungkin akan lain ceritanya kalau film itu digarap oleh tokoh sekelas Deddy Mizwar yang memang konsern terhadap dunia dakwah. Meski tidak sepi dari kritik, namun beberapa film besutan pak haji ini banyak yang memujinya.

Ayat ayat Cinta Tidak Islami?

Orang yang pernah baca novel karya Habiburrahman ini, lalu nonton filmnya, akan berkomentar bahwa film itu tidak Islami. Lho kok tidak Islami?

Wah, jangan tanya saya, tapi tanya saja kepada yang bilang ungkapan itu. Dan yang bilang begitu bukan siapa-siapa, tapi sutradaranya sendiri, si Hanung. Jadi sejak awal si sutradara sudah mengaku bahwa filmnya ini tidak Islami.

Jadi itu saja sudah cukup untuk dijadikan sebuah penilaian, tanpa harus diskusi panjang-panjang. Lha wong yang bikin film itu saja sudah bilang bahwa filmnya tidak Islami. Masak kita mau paksa bilang bahwa itu adalah film Islami?

Begitu banyak memang reduksi dari novel yang sarat isitlah syariah, ketika jadi film malah hilang begitu saja, dibuang oleh pembuat film. Sehingga begitu banyak pesan agama malah raib, berganti dengan adegan konyol, aneh dan memang tidak Islami. Dan itu sejak awal sudah diakui oleh si pembuat film.

Kami tidak tahu apa reaksi akhinal fadhil Habiburrahman tentang film ini. Silahkan tanya beliau.Tapi memang sangat beda antara apa yang ditulis oleh seorang lulusan Al-Azhar dalam novelnya dengan hasil besutan orang film yang bukan lulusan fakultas syariah. Nuansa dan touch-nya beda banget.

Terlambat Tayang Karena Dianggap Mempengaruhi Keimanan Agama Lain

Yang menarik dari berita tentang kenapa film ini terlambat ditayangkan, konon ada ganjalan di LSF. Lembaga ini mengatakan bahwa film ini dikhawatirkan akan mempengaruhi keyakinan agama lain, karena ada tokohnya yang beragama kristen tapi suka dengan Al-Quran.

Aneh juga memang, biasanya LFS meloloskan semua materi film yang melecehkan agama, seperti pornografi, pelecehan seksual, kekerasan sampai lesibianisme dan homoseksual. Tapi giliran ada film yang mengangkat masalah agama Islam, tiba-tiba bisa gagah untuk menghalangi.

Kira-kira ada apa ya dengan lembaga yang satu ini, sehingga bisa kayak Amerika yang punya standar ganda?

Lokasi Mesir

Lepas dari kontroversi apakah film ini Islami atau tidak Islami, tapi sebagai orang yang pernah ke Mesir dan bahkan lahir di Mesir, film ini menurut hemat kami kurang bisa menampilkan setting kejadian yang sebagian besar di Mesir.

Ketika baca novelnya, suasana Mesir dan orang-rang serta kebudayaan dan kebiasaan mereak sangat kental. Wajar, karena Habiburrahman kuliah di sana beberapa tahun.

Tapi ketika divisualisasikan, mulai dari yang bikin film, yang main, bahkan para team kreatifnya, mungkin malah belum pernah tinggal di Mesir. Jadi kalau kesan ‘bukan Mesir’ nya terlalu menonjol, sejak awal memang sudah bisa ditebak. India dan Mesir kan tetap berbeda, biar bagaimana pun juga.

Ketika dahulu produksi film itu belum masih belum memutuskan siapa yang jadi sutradara, mas Chaerul Umam pernah bilang bahwa beliau sempat ditawarkan. Kami katakan kepada beliau, “Mas, kalau memang jadi membuat film itu, mbok sampeyan nyantri dulu di Mesir barang tiga bulan, biar bisa tahu persis bagaimana khas kehidupan di sana.”

Dan permintaan itu sudah dijadikan syarat oleh penulis novelnya, agar lokasi syuting harus di Mesir betulan.Namun sayangnya, sutradara film itu, Hanung, katanya’diperas’ oleh PH di Mesir, sehingga cita-cita mengangkat suasana kota Cairo dalam film ini jadi gatot alias gagal total.

Walhasil, dari sudut pandang ini, film itu kurang mengangkat ke-Mesiran-nya, Tapi apa itu penting buat penonton di negeri ini?

Wallahu a’lam bishsawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

sumber:www.eramuslim.com

13 Komentar

  1. Saya sendiri belum nonton filmnya. Tapi baru kemarin sempat membaca novelnya hingga selesai. Meski tetap saja ada pro dan kontra, paling tidak dan semoga saja, film semacam ayat-ayat cinta ini masih lebih baik dari cerita-cerita vulgar seperti sinetron-sinetron di televisi. Ini memang resiko memfilmkan sebuah novel. Bacaan lebih memainkan peran intelektual dan imaginasi dari kata-kata tertulis. Sementara film sudah memberikan tayangan visual dan audio sekaligus.

  2. semakin menjadi-jadi niat nonton ayat2 cinta

  3. iya ya, coba aja kita perhatikan pewacanaan mengenai pembubaran LSF baru-baru ini… andaikan bisa sih kita nonton bareng terus diskusi ni sama mas Lamida dan Dobelden, kayanya menarik..

  4. emang sich film ini bagus tapi masih ada kejanggalan dari film tersebut.
    katanya film tu menjurus keislaman,tapi mana buktinya…………………..
    masak ada sich orang beragama non-islam,tapi hafal alquran N ada adegan ciumjan juga seprti tokoh si aisah dimalm pertama sama si fahri……………….???????????????g’ bangat gitu loh…………..

  5. lah?! ada adegan anu-annya juga??? astagfirullah… ck ck ck…gimana atuh ini teh… tadinya mau nonton, untung mas Fery bilang duluan.. nuhun ah

  6. nih film bagus banget,wlpun bnyk kontro pesi jangan muna lho kalaun nih film bagus

  7. hmmm asli kayanya harus nonton sendiri nih hehe

  8. alhamdulillah..akhirnya..ada juga film indonesia yang bermutu! aq udah nonton film AAC mpe dua kali..dan aq nggak bosen tuh. Emang bener kok film ini masih banyak kekurangan, baik dari segi tokoh yang mungkin kurang pas ataupun dari segi islami yang masih kurang islami. Aq udah banyak baca komentar dari orang-orang yang pro maupun kontra..sah-sah aja kalo mo komentar suka ato ga suka. Tapi menurut aq film ini bagus, walopun tidak sama persis dengan novelnya (masih kurang islami). Pesan yang mau disampaikan lumayan dapet, peran tokoh2nya pun cukup baik. Walopun tidak sempurna..film ini tetap layak untuk ditonton, baik itu cowok ato cewek, yang udah nikah ato yang belum nikah. Dan buat temen2 yang belum baca novelnya, pasti anda merasa film ini bagus banget! Kekurangan sudah pasti milik kita semua sebagai manusia, tak lepas juga mas hanung dan teman2nya yang sama-sama berusaha mengadaptasi nove AAC ke dalam sebuah film dengan seoptimal mungkin. Anggaplah film ini sebagai langkah awal untuk kemajuan film Indonesia,,Thank u so much untuk mas habib buat novelnya, dan mas hanung atas perjuangannya memfilmkan AAC (baca aja blog nya mas hanung, bener-bener bukan perjuangan yang mudah..!!!). Salut buat mas hanung..semoga ke depannya akan ada film-film baru yang lebih baik, lebih bagus, dan lebih mendidik lagi dari ini. Amin.

  9. naaah, ini dia nih view yng lengkap.makasih ya Iya

  10. kalau mau lebih sempurna mah yach… pas ada adegan 17 tahun ke atas teh, diperankannya sama artis yang suami istri terus yang jadi marianya adiknya jadi gak ada kesan negatif. pantes aja nyari pemeran a fahri gak akan dapet ke pesantren mah, orang disuruh pegangan sama bukan muhrim santri mana yang mau? bagaimanapun selamat atas keberhasilannya… semoga ada film2 lain yang lebih bagus lagi. buat sangmalam, udah nonton belum filmnya?

  11. setuju sama Aishafatima nih! coba teteh bikin film ya.. masih belum nonton ni teh, aga2 males hehe kalo judulnya pertempuran atau spionase semangat hehe

  12. iya do’akan kalau ada kesempatan bikin film.. minimal jadi artisnya ha..ha.. tapi ada bocoran juga nih kang abik mau bikin film juga yang baru dari novelnya juga judulnya ketika cinta bertasbih. sutradaranya mas chaerul umam. mudah2an filmnya juga bagus, dan ada ruhiyahnya. ana sudah baca novelnya, kisahnya sama berlatar mesir, kairo dan Al Azhar.
    bercerita ttg kehidupan mahasiswa indonesia juga, tapi lebih seru soalnya ada spionase juga kang! spionase yahudi. pokoknya kalau filmnya sesuai dengan novelnya pasti lebih hebat dari ayat-ayat cinta. kita do’akan saja ya…

  13. nah gitu atuh…cinta sangat penting tapi menjadi tidak benar ketika pembahasannya malah menjadikan ruhul jihad ummat jadi lembek! afwan…


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan Balasan ke syahri Batalkan balasan

  • Maret 2008
    S S R K J S M
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  
  • Arsip

  • Blog Stats

    • 15.400 hits